Mulai awal Juli 2013 ini, tantangan yang harus dihadapi oleh para pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) kita semakin berat. Pemerintah telah memutuskan dan menetapkan untuk mengenakan pajak sebesar 1 persen bagi pelaku UKM yang memiliki omset Rp 0 hingga Rp 4,8 miliar pertahun. Sedangkan untuk UKM yang memiliki omzet di bawah Rp 300 juta akan dikenai pajak setengah (0,5) persen. Tentunya, kebijakan pemerintah yang mengenakan
pajak untuk UKM ini sangat kontraproduktif.
Ada beberapa pertanyaan mendasar yang perlu dilontarkan sehubungan dengan kebijakan pemerintah tersebut, yaitu apakah pemerintah sudah merasa berhasil membina dan meningkatkan kualitas pelaku UKM Indonesia sehingga sudah saatnya meminta imbal balik berupa pajak? Selain itu, apakah pemerintah sudah kekurangan sumber pemasukan setelah sebelumnya menaikkan harga BBM yang dampaknya juga tidak ringan bagi para pelaku UKM?
Menurut informasi, awalnya Menkop dan UKM Syarief Hasan menolak gagasan
pajak untuk UKM yang sudah disiapkan Menteri Keuangan sejak setahun lalu itu. Namun menteri dari Partai Demokrat ini akhirnya tak berkutik dan menyetujui usulan yang sangat tidak berpihak dengan nasib pelaku UKM yang seharusnya justru perlu dibelanya tersebut. Ironisnya lagi, tidak sedikit organisasi pengusaha yang awalnya menolak rencana pemerintah tersebut akhirnya juga tak berkutik. Isu ini juga tak banyak mendapat sorotan media sehingga mudah lolos tanpa halangan.
Kendala Pengembangan UKM
Selain sebagai salah seorang pelaku UKM, saat ini saya juga masih tercatat sebagai pengurus di Forum Daerah (Forda) UKM Yogyakarta. Melalui asosiasi usaha itu saya sering berinteraksi dengan berbagai pelaku usaha lainnya. Dari pengalaman ini saya menemukan bahwa tidak sedikit hambatan yang dihadapi pelaku UKM dalam menjalankan usahanya. Baik dari budaya dan lingkungan sekitarnya, maupun berbagai keterbatasan menyangkut akses yang sesungguhnya sangat mereka butuhkan. Maka tidak heran bila tidak sedikit dari mereka yang menutup usahanya dan lebih memilih menjadi karyawan, beralih dari satu bidang usaha ke bidang usaha lainnya, ataupun malah bangkrut dan tak berani bangkit lagi.
Sejumlah masalah internal yang cukup mendasar dialami pengusaha UKM adalah kelemahan dalam mengelola usaha. Kelemahan ini tampak dari masalah pengelolaan administrasi, proses produksi, hingga pengelolaan tenaga kerjanya yang tidak jelas. Administrasi keuangan juga tumpang tindih antara keuangan usaha dengan keuangan pribadi. Kelemahan dalam pengelolaan organisasi dari UKM ini memang cukup kompleks.
Kendala lain yang dihadapi pelaku UKM adalah keterbatasan modal maupun akses mereka ke lembaga permodalan dan lembaga perbankan yang rendah. Hambatan menyangkut permodalan ini semakin berat dirasakan UKM dengan adanya tekanan dari faktor eksternal menyangkut aliran kas (cash flow) dari keuangan mereka. Masyarakat konsumen, termasuk pengusaha besar yang menerima pasokan produk dari usaha kecil, kebanyakan memberlakukan sistim pembayaran mundur terhadap barang yang dipesan kepada pelaku UKM.
Tantangan dan kendala yang dihadapi UKM dirasakan semakin berat dengan kurang kondusifnya iklim usaha dalam mendukung perkembangannya. Diantaranya tingkat persaingan yang semakin ketat antara sesama pelaku usaha kecil. Begitu juga serbuan para pengusaha besar dalam bentuk pendirian mall dan supermarket hingga ke pelosok-pelosok yang memberikan dampak buruk bagi pemasok lokal. Kodisi inilah yang menyebabkan UKM semakin sulit berkembang.
Keterbatasan Akses UKM
Harus diakui, sebenarnya sudah cukup banyak dan beragam program maupun langkah nyata yang sudah dikeluarkan pemerintah untuk penguatan UKM. Kebijakan ini dilaksanakan dalam berbagai bentuk, mulai dari berbagai keputusan pemerintah, paket-paket kebijakan, hingga instruksi kepada lembaga lain dalam mendukung penguatan usaha kecil. Begitu juga dengan pemberdayaan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga lain yang peduli terhadap usaha kecil juga sudah cukup banyak.
Namun program maupun kinerja pemrintah dalam penguatan UKM tersebut juga perlu dievaluasi. Menurut saya, banyak program tersebut yang tidak efektif dan tidak tepat sasaran. Salah satu contoh adalah akses terhadap program bantuan permodalan untuk UKM. Dari pengalaman saya, informasi tentang akses permodalan tersebut tidak dikabarkan secara terbuka, luas, dan transparan. Pemerintah melalui berbagai departemen yang mendapat mandat untuk melaksanakan program penguatan UKM, juga tidak memiliki kriteria dan sistem seleksi yang jelas dan akurat terhadap pelaku UKM yang pantas dan layak untuk dibina.
Berangkat dari keprihatinan terhadap realitas tersebut, saya sudah menuangkannya dalam sebuah buku yang berjudul "Rahasia Dapat Modal & Fasilitas" yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama dengan bentuk cover seperti pada foto thumbnail tulisan ini. Buku ini membahas tentang berbagai sumber pembiayaan yang diperuntukkan khusus untuk para pelaku UKM. Dari pembiayaan permodalan, fasilitas mengikuti pameran dan pelatihan, hingga berbagai fasilitasi gratis lainnya yang khusus untuk pelaku UKM.
Mohon maaf, tulisan ini bukan bermaksud untuk promosi. Saya hanya ingin mengabarkan bahwa berbagai akses informasi tersebut harus dikabarkan secara luas, terbuka, dan transparan, tanpa perlu ditutup-tutupi. Sayangnya, tidak sedikit departemen dan instansi pemerintah yang mendapat amanah tersebut malah seakan seperti tertutup. Apalagi tidak jarang pelaku UKM yang mendapat layanan dan fasilitasi tersebut hanya berputar pada orang atau pelaku UKM yang sama.
Seperti diamanatkan oleh UUD 1945, pemerintah mempunyai kewajiban untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Pelaku UKM adalah warga negara yang telah memiliki niat baik hendak mengentaskan dirinya dari kemiskinan. Oleh karena itu, sudah seharusnya pemerintah memberikan bantuan dan pembinaan yang serius, berkelanjutan, efektif, dan transparan. Bukannya malah membebaninya dengan pajak untuk UKM yang dikhawatirkan justru akan menambah jumlah pelaku UKM yang akan gulung tikar atu meninggalkan dunia enterpreneurship. Quo vadis UKM kita?